Selasa, 22 November 2011
Kunang-kunang Kenangan
Ia kembali ke tempat ini karena kunang-kunang dan kenangannya di masa lalu. Padahal, ia berharap menghabiskan liburan musim panasnya di sini, tempat dimana kisah kasihnya bersama Arif dimulai. Meski ia tahu, kekasihnya jarang datang lagi ke tempat itu seperti ketika saat mereka menjalin hubungan dulu.
Ada benarnya juga kelakar teman- temannya. ”Kau tahu, Ria, itulah risiko punya pacar peneliti tumbuhan. Kamu harus lebih dulu menjadi bunga liar yang langka untuk membuatnya tertarik bercinta denganmu.”
”Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Arif lebih tertarik memperhatikan tumbuhan langka ketimbang perempuan berambut pirang.” Dan ia tertawa walau sebenarnya ia menyadari bahwa betapa ia mesti berebut perhatian kekasihnya, justru dengan tumbuhan-tumbuhan langka seperti itu.
Arif pernah cerita perihal tumbuhan bunga bulan pelangi yang berhasil ditemukannya bersama teman-teman kampusnya yang juga merupakan peneliti berbagai jenis spesies tumbuhan di kaki bukit gunung Jayawijaya di Papua. Penemuan tersebut menurut Arif begitu langka, karena merupakan spesies baru yang ada di kawasan Asia. Tumbuhan tersebut menurut Arif seperti melambangkan diriku yang nampak bercahaya ketika dimalam hari.
Setiap saat ada kesempatan mereka bertemu, saat mereka seharusnya menghabiskan setiap menit dengan bercerita dan berbagi kasih namun kekasihnya justru sibuk bicara soal tumbuhan raksasa berwarna kuning yang ditemukannya di Kepulauan Riau dan entah nama-nama aneh apa lagi sampai obsesinya menemukan spesies tanaman Racun Hitam yang diyakininya masih hidup di pedalaman hutan di Kalimantan.
Langit mulai menggelap dan keriuhan kendaraan di seberang jalan hampir terdengar di tengah lumbung padi luas dimana tempat ia berdiri kini. Memang keadaan sekarang sangat berbeda jauh dengan saat pertama kali ia datang. Dulu tempat ini hanyalah hamparan ilalang luas yang ditengahnya terdapat jalan setapak menuju desa, namun kini setelah dibangunnya jalan raya yang tak jauh dari tempat ia berdiri, suara kendaraan seperti menyelip dan bergemuruh diantara lebatnya ilalang. Ria ingat tahun lalu, ia dan Arif menikmati siraman sinar rembulan dan pancaran sinar dari kunang-kunang dimalam hari disaat pertama kali mereka memadu kasih.
”Kau tahu, kenapa aku ke sini mengajakmu kemari dimalam hari? Karena ketika aku di sini, aku seperti dapat merasakan suara alam yang saling bersahutan seolah sedang mengajakku berbicara kepadanya dan belum lagi cahaya kunang-kunang yang berputar diangkasa seakan menambah jumlah bintang” dilangit. Karena itulah aku mengajakmu kemari untuk merasakan perasaan yang akau rasakan ini”
Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata yang diucapkan Arif tersebut. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.
***
”Bukankah kau ingin melihat kunang-kunang?”, ujar Arif.
Dulu, semasa kanak, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang bagai hanya ada dalam buku-buku dongeng. Di kota besar seperti Jakarta yang hiruk pikuk, tempat ia tinggal, ia tak pernah melihat kunang-kunang secara langsung. Sekilas Ria melirik Arif yang begitu asyik memandangi kunang-kunang yang disimpannya dalam Toples. Cahaya kuning kehijauannya membias terang.
”Ini kunang-kunang istimewa, bukan golongan yang kau temui pada umumnya. Para penduduk setempat percaya, kunang-kunang ini berasal dari roh penasaran. Roh para perempuan yang diperkosa..”, kata Arif kepada Ria.
Saat menyadari Ria tak terlalu memperhatikan kunang-kunang itu dan lebih sering memandangi langit hitam yang ditaburi oleh bintang-bintang, Arif menggenggam lengannya dan berkata, ”Percayalah Ria, nanti di sana kau akan menjumpai langit yang megah dipenuhi jutaan kunang-kunang.” Lalu suaranya nyaris lembut, ”Dan kita akan serasa bersama untuk selamanya..”
Tapi ia tak merasa kunang-kunang itu istimewa, seperti yang dikatakan Arif. Mungkin karena saat itu, ia memendam kekecewaan, sebab tahu bahwa pada akhirnya ini merupakan pertemuan yang mungkin akan sangat singkat dengan Arif dan ia tidak tahu kapan lagi akan menikmati saat-saat seperti ini lagi bersama Arif.
Arif membawanya ke permukiman padat kota tua tak terawat. Banyak toko kosong terbengkalai, dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang dibiarkan nyaris runtuh. ”Di gedung-gedung gosong itulah para kunang-kunang itu berkembang biak,” ujar Arif. Padahal, sebelumnya ia membayangkan hutan tropis eksotis, atau danau luas, di mana ribuan kunang-kunang beterbangan.
Ia menunggu sejenak, ketika malam yang muram makin menggelap, dalam pandangannya gedung-gedung yang gosong itu seperti makhluk-makhluk yang rongsok dan bongkok, menanggung kepedihan. Dan diantara gelap gedung-gedung itu seperti ada puluhan mata yang diam-diam manatapnya. Seperti ada yang hidup dan berdiam dalam gedung-gedung kelam itu. Lalu ia melihat cahaya lembut kekuningan, terbang melayang-layang.
”Lihat,” Arif menepuk pundaknya. ”Mereka mulai muncul. Kunang-kunang itu….”
Itulah detik-detik yang kemudian tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Ia menyaksikan puluhan kunang-kunang menghambur keluar dari dalam gedung-gedung gosong itu. Mereka melayang-layang rendah, seakan ada langkah-langkah gaib yang berjalan diatas udara. Puluhan kunang-kunang kemudian berhamburan seperti gaun yang berkibaran begitu anggun. Beberapa kunang-kunang terbang berkitaran mendekatinya.
”Pejamkan matamu, dan dengarkan,” bisik Arif. ”Kunang-kunang itu akan menceritakan kisahnya padamu….”
Ia merasakan keheningan yang membuatnya pelan-pelan memejamkan mata. Keheningan itu seperti genangan udara dingin, yang berlahan mendesir. Pendengarannya seperti bunga yang merekah terbuka, dengingan sayap kunang-kunang itu, melintas begitu dekat di telinganya, seperti sebuah bisikan yang menuntunnya memasuki dunia mereka. Ia terus memejam, mendengarkan kudang-kunang itu bercerita.
”Lihatlah api yang berkobar itu. Setelah api itu padam, orang-orang menemukan tubuhku hangus tertimbun reruntuhan….”
Suara itu, suara itu menyelusup lembut dalam telinganya. Dan ia seperti menyaksikan api yang melahap pusat perbelanjaan itu. Menyaksikan orang- orang yang berteriak-teriak marah dan menagis. Ia menyaksikan seorang perempuan berkulit langsat diseret beberapa lelaki kekar bertopeng. Asap hitam membubung. Beberapa orang membakar sebuah toko yang tepat berada ditengah pusat perbelanjaan itu, kemudian kabur mengendarai sepeda motor. Api makin berkobar. Perempuan itu menjerit dan meronta, diseret masuk ke dalam toko yang sudah ditinggalkan penghuninya.
”Lihatlah gedung yang gosong itu. Di situlah mereka memerkosa saya….”
”Mereka begitu beringas!”
”Mayat saya sampai sekarang tak pernah ditemukan.”
”Roh kami kemudian menjelma kunang-kunang….”
”Lihatlah… lihatlah….”
Ia melihat puluhan kunang-kunang terbang bergerombol, seperti rimbun cahaya yang mengapung di kehampaan kegelapan. Puluhan suara yang lirih terus menyelesup ke dalam telinganya. Ia merasakan tubuhnya perlahan mengapung, seperti hanyut terseret suara-suara itu.
”Ayo, ikutlah denganku. Ayolah, biar kau pahami seluruh duka kami….”
”Ia, Ria!!”
Ia dengar teriakan cemas.
”Ria!!”
Ada tangan menariknya, membuatnya tergeragap. Arif mengguncang bahunya, ”Ria! Kamu gak apa-apa?!” Suara-suara itu, perlahan melenyap. Tapi bagai ada yang tak akan pernah lenyap dalam hidupnya. Ia menatap kosong, seakan ada sebagian dirinya yang masih ada di sana. Seakan sebagian jiwanya telah dibawa dan terikat dengan kunang-kunang itu. Lalu ia lebih banyak diam, memandang takjub pada ribuan kunang-kunang yang muncul berhamburan dari gedung-gedung yang gosong, seperti muncul dari mulut goa. Semakin malam semakin bertambah banyak kunang-kunang memenuhi langit kota. Jutaan kunang-kunang melayang, seperti sungai cahaya yang perlahan mengalir dan menggenangi langit. Langit kota dipenuhi pijar cahaya hijau kekuningan yang berdenyut lembut, seperti kerlip bintang-bintang yang begitu rendah, dan kau bisa menyentuhnya.
Malam itu ia merasakan sentuhan dan pelukan Arif meresap begitu dalam. Ciuman-ciuman yang tak akan terlupakan. Ciuman-ciuman yang paling mengesankan di bawah hamparan cahaya kunang-kunang. Ciuman-ciuman yang selalu membawanya kembali ke dunia ini dan kenangan.
***
Pertama kali, kunang-kunang itu terlihat muncul pertengahan tahun 2002, empat tahun setelah kerusuhan. Seorang penduduk melihatnya muncul dari salah satu gedung gosong itu. Makin lama, kunang-kunang itu makin bertambah banyak, terus berbiak, dan selalu muncul pertengahan tahun. Para penduduk kemudian percaya, kunang-kunang itu adalah jelmaan roh korban kerusuhan. Roh perempuan yang disiksa dan diperkosa. Orang-orang di sini memang masih banyak yang percaya, kalau kunang-kunang berasal dari orang yang sudah mati. Sering, orang-orang mendengar suara tangis muncul dari gedung-gedung gosong yang terbengkalai itu. Gedung-gedung itu seperti monumen kesedihan yang tak terawat.
Arif menceritakan semua itu, seolah-olah ia tidak percaya akan ilmu pengetahuan. ”Sering kali ilmu pengetahuan tak mampu menjelaskan semua rahasia,” kata Arif. ”Bisakah kau menjelaskan apa yang barusan kau alami hanya dengan logika?”
Memang, ia hanya bisa merasakan, seperti ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang itu padanya. Suara-suara gaib yang didengarnya itu seperti gema yang tak bisa begitu saja dihapuskan dari ingatannya. Ia percaya, segala peristiwa di dunia ini selalu meninggalkan gema. Seperti gema, mereka akan selalu kembali. Karena itulah ia pun kemudian selalu kembali ke tempat ini. Untuk kunang-kunang dan kenangan.
Ia selalu terpesona menyaksikan jutaan kunang-kunang memenuhi langit. Langit menjelma hamparan cahaya kekuningan. Itulah satu-satunya pemandangan termegah yang selalu ingin ia nikmati kembali. Ia dan Arif suka sekali berbaring di tengah-tengah padang ilalang, menyaksikan berjuta-juta kunang-kunang itu memenuhi langit. Pada saat-saat seperti itu, sungguh, kau tak akan mungkin menemukan panorama langit yang begitu menakjubkan di belahan dunia mana pun, selain di tempat ini.
”Kelak, bila aku mati, aku akan menjelma menjadi kunang-kunang. Aku akan hidup dalam koloni kunang-kunang itu. Dan kau bisa selalu memandangiku ada di antara kunang-kunang itu….”
Saat itu, ia hanya tertawa mendengar omongan Arif. Semua menjadi berbeda ketika telah menjadi kenangan.
***

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar